TERIMA KASIH atas kunjungan ANDA

Minggu, 19 Juni 2011

Hari Ini Hari Nelayan Indonesia, Ayo Makan Ikan..!



Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan mencatat bahwa dalam periode Januari – Februari 2011, sebanyak 32 orang nelayan hilang dan satu orang meninggal dunia. Para nelayan itu tewas saat mencari ikan di laut. Nelayan bertahan hidup tanpa perlindungan negara. Tingginya ombak di laut justru dibiarkan hingga hutang nelayan membengkak.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memang telah memperkirakan cuaca ekstrem akan berlangsung hingga April 2011. Akan tetapi, di masa sulit itu, uluran tangan pemerintah terasa seperti setetes air di tengah gurun pasir. Cuaca ekstrem selama musim angin barat ini justru disebut sebagai bencana sosial, bukan bencana alam yang mengancam keselamatan 2,7 juta jiwa nelayan dan lebih dari dua puluh juta keluarganya.

Abas, 40 tahun, seorang nelayan dari Marunda, Jakarta, adalah satu contoh nelayan yang melesu. Mukanya murung. Sudah beberapa hari ini ia mengaku tidak melaut. Cuaca ekstrem yang melanda Laut Jawa tak memungkinkan dirinya melaut. Bagi Abas, tidak melaut sama saja mematikan asap dapurnya. Padahal, ia harus menghidupi dua anak dan satu istri.

Melaut adalah gantungan hidup satu-satunya yang telah dilakoni Abas selama lebih dari dua puluh tahun. Kini, ketika cuaca ekstrem melanda, Abas nyaris tidak memiliki pendapatan. Ia hanya menambal kebutuhan hidup dari hasil memulung sampah plastik.

“Hasil mulung paling hanya laku lima belas ribu rupiah,” kata Abas dalam pernyataan pers Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Selasa (5/4), di Jakarta.

Abas tak sendiri. Masih banyak nelayan yang bernasib sama di Teluk Jakarta, bahkan di seluruh pelosok Indonesia ini. Perahu rekannya ada yang terseret ombak hingga Muara Gembong, Karawang (Jawa Barat), karena kencangnya angin. Beruntung rekannya selamat. Beberapa hari ini, nelayan Marunda pun sudah mulai makan enceng gondok sebagai sayur.

Banyak nelayan masygul menatap hari depan. Bak buah simalakama, nekat melaut nyawa taruhannya, tak melaut sama saja tak makan.

Dalam kondisi demikian, Koalisi mencatat bahwa respon yang dilakukan negara atas krisis multidimensi yang dihadapi nelayan ini justru dengan mengeluarkan kebijakan pengkaplingan laut melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengolalaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tak hanya itu, proses pembangunan yang tak ramah lingkungan juga terus dilakukan betapapun itu menimbulkan kerugian sosial budaya bagi masyarakat, seperti reklamasi pantai di Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Makasar, dan Manado.

Perlakuan diskriminatif ini tak membuat nelayan tinggal diam dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara maupun hak-hak khususnya sebagai nelayan atau pahlawan protein bangsa.

Bertepatan dengan Hari Nelayan Indonesia yang jatuh pada 6 April 2011, Forum Komunikasi Nelayan Jakarta (FKNJ) dan Kelompok Nelayan Rajungan Kalibaru (KNRK) bersama dengan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Institut Hijau Indonesia, Civil Society Forum (CSF) for Climate Justice, dan Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) pun akan menggelar aksi simpatik di sejumlah daerah.

Di Jakarta, aksi pada pukul 10 WIB hingga selesai dengan sejumlah agenda. Agenda tersebut adalah gerak jalan nelayan dari Patung Kuda ke Mahkamah Konstitusi untuk melalukan orasi dan testimoni tentang Undang-Undang Pesisir. Selanjutnya, aksi diarahkan ke seberang Istana Negara dengan menggelar orasi dan testimoni dari nelayan perempuan.

Di Semarang, Jawa Tengah, aksi dilakukan pada pukul 08.30 WIB hingga 11.30 WIB oleh Jaringan Solidaritas untuk Nelayan (Jala Nelayan). Aksi ini akan dilaksanakan di Bundaran Air Mancur Universitas Diponegoro (Sebelah Selatan Simpang Lima).

Di Langkat, Sumatera Utara, aksi dilakukan pada pukul 10 WIB hingga selesai, mulai dari 6 hingga 11 April 2011. Di sini, peringatan Hari Nelayan Indonesia dilakukan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Regio Sumatera untuk mengingatkan penyelenggara negara agar bertindak maksimal dalam melindungi nelayan tradisional yang hidup di wilayah perbatasan negara. Aksi dipusatkan di Kota Pangkalan Brandan.

Di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, peringatan Hari Nelayan Indonesia dilakukan pada pukul 10 WIT hingga selesai melalui seminar bertajuk “Stop Pembuangan Tailing ke Laut dan Sejahterakan Nelayan” di Gedung Joeang ’45, Selong. Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Agil Al-Idrus, Prof. Dr. Idrus, Lalu Saefudin S.H., M.H., dan Amin Abdullah. Kegiatan yang dilakukan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Regio Nusa Tenggara bersama organisasi mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat setempat ini dimaksudkan untuk mengingatkan negara agar mengkoreksi kebijakan pertambangan yang berdampak serius terhadap kehidupan nelayan tradisional. Di sini, nelayan memang mengeluh karena limbah tailing yang digelontorkan oleh perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar